Married, a Simple Word Contains Big Things for a Big Influences in Whole Life
Di usia yang kata mereka masih belia ini, aku ingin menuliskan rencana
hidupku. Satu hal yang saat ini masih terus kupikirkan, terngiang dalam benak
adalah "menikah". Ya, mungkin bagi sebagian orang masih menganggap aneh, berdecak
kemudian bergumam, “Masih juga umur 18 tahun, kok udah mikir nikah. Sekolahmu tuh
urusin dulu, benerin”. Sebagian lagi mungkin ada yang tertawa.
Namun bagiku, menikah ini adalah bagian yang terpenting, yang bisa
menggenapkan sebagian agamaku. Saat ini, aku tak mau bermain dan dekat-dekat
dengan yang namanya merealisasikan “cinta”. Jika suatu saat Allah
menganugerahkan rasa itu ada padaku, cukuplah kupendam saja dalam diri ini satu
kata yang bernama cinta itu hingga saatnya tiba. Atau mungkin jika suatu saat
laki-laki yang aku cintai sudah menemukan “tulang rusuknya” lebih dahulu,
bagaimana? Hmmm... patah hati itu pasti ada, manusiawi kok. Tapi ya mau
bagaimana lagi, tulang rusuknya itu kan sudah dituliskan Allah di Lauhil
Mahfudz, dan ternyata yang dituliskan Allah itu bukan aku. Kalau sudah begini,
bagaimana? Mau kecewa sama si laki-laki? Dia juga tidak tahu menahu tentang
siapa jodohnya kelak. Ternyata oleh Allah dia dijodohkan dengan orang lain,
maka kecewaku itu harap dihapus pelan-pelan saja. Mungkin yang dituliskan Allah
untukku itu juga sedang menungguku. Toh ya aku dulunya pernah patah hati, juga
pernah kecewa dan akhirnya kuat lagi. Yang paling parah paling Cuma nangis semalem,
nyari hiburan dan kesibukkan, akhirnya ceria lagi, ketawa-ketawa lagi. Rasa
sedih dan senang adalah fitrah kita sebagai manusia, karunia Allah. Jadi kalo
lagi seneng ya nikmati aja, kalo lagi sedih jalani aja. Tidak selamanya sedih
itu akan hinggap di diri ini, begitu juga dengan senang. Lagipula rasa cinta
untuk dia lama-lama juga terkubur hidup-hidup dan diuraikan oleh bakteri yang
bernama waktu.
Aku ingin nikah muda. Awalnya aku ingin menikah di usia 23 tahun. Tapi
karena tidak ingin berlama-lama terus sendiri, “berpuasa” dan iri dengan
kemesraan tulisan-tulisan di fanpage islami tentang percakapan sepasang
suami istri yang hendak melaksanakan sholat tahajud, jadi aku memutuskan ingin
menikah di usia sekitar 21 atau 22 tahun. Awalnya fine-fine saja, tapi
setelah dipikir-pikir lagi, “Apa nggak terlalu muda ya?” Padahal aku ingin
membahagiakan orangtuaku dulu, ingin memperhatikan dan mencurahkan semua kasih
sayangku kepada beliau berdua. Memang bisa sih membahagiakan kedua orangtua
saat kita sudah menikah nanti. Tapi menurutku, itu tidak bisa seleluasa dan
sefleksibel saat aku masih single dan belum ada ikatan dengan siapapun.
Aku masih bisa manja-manja ke ibu, ke ayah. Nah kalo udah nikah, kan ya malu
mau manja-manja sama ibu atau ayah. Kan sudah ada suaminya. Hehe.
Aku masih ingin memberikan sesuatu yang berharga kepada beliau berdua
dari hasil keringatku sendiri. Yah walaupun orangtua tidak pernah mengharapkan
balasan harta dari anaknya, tapi aku ingin sekali menaikhajikan kedua
orangtuaku, mengajak beliau berdua ke tempat-tempat yang belum pernah
dikunjungi, banyak deh pokoknya. Nah kalo sudah menikah, walaupun semua itu
dari hasil keringatku, uangku sendiri, kan ya setidaknya harus bilang ke suami
dulu. Karena saat menikah aku kan sudah menjadi tanggung jawab suamiku, bukan
orangtuaku lagi.
Satu hal yang lumayan besar lagi untuk jadi pertimbangan, aku ingi
melanjutkan studiku dari D3 ke S1 di ITS. Loh, emangnya kalo udah nikah apa
nggak bisa ya? Ya bisa sih, tapi berdasarkan pengalaman, kuliah di ITS itu
sangat amat butuh keseriusan dan butuh perhatian khusus. Apalagi nanti aku
sambil kerja di PLN, tidak tau mau ditempatkan dimana. Tapi kalo aku
ditempatkan di sekitar wilayah Surabaya, aku mau lanjutin kuliah S1 di ITS. Aku
mau ambil yang malam hari. Pagi sampai sorenya buat kerja. Nah, kalo udah kayak
gitu kan nggak ada waktu lagi buat sang suami kelak. Apalagi kalo nanti ada
anak, kan kasihan. Ada sih ada, tapi kan intensitasnya sangat sedikit. Sekitar
9 dari 24 jam lah, tapi yang 6 jam buat tidur. Sedikit kan?
Berdasarkan semua pertimbangan-pertimbangan di atas, aku jadi
meninggikan patokan usiaku untuk menuju ke pelaminan menjadi 23 tahun. Atau
minimal 22 tahun lah. Tapi ini hanyalah naluriku sebagai manusia yang bisa
berencana. Apapun yang terjadi nanti, aku pasrahkan sama kehendak yang telah
Allah tuliskan untukku. Wallahu ‘alam bisshowab.
“Married,
a Simple Word contain Big Things for a Big Influence in whole life.”
0 comments